Minggu, 06 Januari 2013

UNTUK IBUKU YANG LUAR BIASA.




Bagaimana mungkin aku mencari cinta lain saat kamu memberikan arti segalanya tentang cinta. mungkin hatiku telah terisi cinta dari wanita lain tapi sesungguhnya aku lebih mencintaimu, mungkin untuk wanita yang sekarang mencintaiku dia hanya mendapatkan sebagian kecil dari hatiku dan sisanya hatiku telah kuberikan untukmu. Terimakasih ibu karena cintamu lah yang mendewasakan aku seperti ini dan aku akan selalu bersyukur karena aku terlahir dari rahimmu IBU.
tanpa kamu, aku tak akan merasakan bagaimana panasnya matahari. tanpa kamu, aku tak akan merasakan bagaimana dingginnya hujan. tanpa kamu, aku tak akan merasakan pagi itu seperti apa. tanpa kamu, aku tak akan bisa merasakan malam itu seperti apa. Tanpa kamu, aku tak akan pernah mendengarkan lantunan Adzan. Tanpa kamu, aku tak akan pernah mendengarkan lagu-lagu cinta. Tanpa kamu, aku tak akan bisa melihat bagaimana dunia ini. Tanpa kamu, aku tak akan bisa merasakan bagaimana rasanya manis, pahit, asam bahkan hambar. Tanpa kamu, aku tak akan pernah mengenal Bahasa indonesia dan bahasa-bahasa lainnya. Tanpa kamu, aku tak akan pernah mengenal arti ilmu pengetahuan. Iya tanpa kamu, aku bukanlah apa-apa dan siapa-siapa. Sekali lagi tanpa kamu, aku tak akan pernah terlahir. Tanpa kamu, aku hanyanyalah mahluk yang tidak bisa apa-apa. Terimkasih Tuhan atas keajaiban dan anugrah yang kau beri. Terimakasih Ibu karena kamu sudah memberikan kesempatan hidup buat diriku ini.
Terimakasih Ibu buat segala yang kau beri buat diriku ini. Aku bakal tersenyum saat kaupun tersenyum, kamu tau senyumanmu adalah keindahan yang luar biasa berarti penuh makna bagiku. kamu tau tawamu membuat diriku semakin bahagia. Kamu tau nasehatmu membuatku mengerti akan segalanya, iya segalanya yang belum aku pahami. Kamu tau marahmu membuat aku semangat, iya semangat merubah hal-hal buruk yang tak kau suka. Kamu tau tangisanmu membuat aku semakin mengerti bagaimana aku harus menghapus air matamu dan menggantinya dengan senyum bibirmu. Kamu tau kata-kata yang terucap dari bibirmu adalah Motifasi hidupku. Kamu tau, kamu adalah keindahan dari segala keindahan. Kamu tau, kamu adalah separuh dari badanku. Kamu tau pelukanmu membuatku begitu nyaman dah hangat seperti mentari pagi. Kamu tau saat aku memikirkanmu sejenak aku melupakan segala macam masalah-masalah yang aku alami. Kamu tau, kamu adalah pemberi pembelajaran hidup terbaik. Kamu tau, kamu adalah pendengar dan pemberi solusi terbaik saat aku sedang bercerita. Kamu tau, kamu adalah tongkat saat aku tidak bisa berdiri lagi. Kamu tau doamu yang melindungiku setiap saat. Sekali lagi aku berterimakasih kepadamu Ibu atas semua pengetahuan dan pembelajaran yang belum pernah aku dapatkan selama ini.
TERIMAKASIH IBU ISYATURODIYAH

Sabtu, 05 Januari 2013

Psikologi Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung





Makalah Persepsi Dan Kognisi



BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Persepsi dan kognisi merupakan suatu proses psikologis yang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam hal. Kognisi pada dasarnya ialah sebuh proses berpikir yang di dalamnya terdapat berbagai macam aspek, yaitu pencarian, penerimaan, pemaknaan, penyimpanan, dan bagaimana menggunakan informasi-informasi tersebut. Proses psikologis lain yang berperan dalam proses ini ialah persepsi, yaitu kemampuan seorang individu memberi makna pada informasi-informasi yang telah diperolehnya.
Hubungan dan pengaruh budaya ini tentu sangat menentukan perbedaan dan persamaan persepsi atas proses berpikir seorang individu. Individu dibesarkan sesuai dengan nilai-nilai tertentu yang berlaku dalam masyarakatnya dan diturunkan secara turun-temurun. Nilai-nilai yang dianut inilah yang sangat menentukan bagaimana seseorang dapat mempersepsi objek-objek yang ditangkap melalui proses kognisinya. Misalkan ketika ia menerima informasi tentang maraknya ibu-ibu yang bekerja sebagai wanita karier yang sukses dan secara tidak langsung keluarganya sedikit terbengkalai, maka seorang individu akan mempersepsikannya secara berbeda. Mungkin bagi sebagian orang yang masih menganut sistem budaya konvesional (seorang dengan budaya jawa namun masih memegang teguh ajaran budayanya) akan menganggap bahwa hal itu tidak dibenarkan menurut persepsinya. Seperti yang dijelaskan oleh Umar Kayam (2008) dalam  www.kompas.com bahwa wanita merupakan teman belakang atau dalam bahasa jawa disebut sebagai kanca wingking yang merupakan pengembangan dialektika budaya adiluhung yaitu seorang yang bertugas menjaga nilai-nilai luhur di dalam rumah. Hal itu mungkin akan dipersepsi lain oleh orang dari latar belakang budaya yang berbeda.
Berdasarkan latar belakang inilah, maka kami akan mengupas lebih jauh mengenai kognisi, persepsi, serta hubungan budaya dengan kedu proses tersebut.

B.           Masalah
Masalah yang timbul dari penyusunan makalah ini:
·         Apakah definisi kognisi?
·         Apakah definisi persepsi?
·         Apakah terdapat hubungan antara kognisi dan intelegensi?

C.          Maksud dan Tujuan
Maksud serta tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui:
a)    Memberikan pemahaman mengenai definisi kognisi
b)   Memberikan pemahaman mengenai definisi persepsi
c)    Memberikan pemahaman mengenai hubungan kognisi dan intelegensi

D.          Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan metode literatur yang diambil dari beberapa buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas serta situs-situs internet yang berkaitan. Selain itu penulis juga menggunakan metode deskriptif praktis, artinya dengan menggambarkan keadaan masalah yang ditulis berdasarkan beberapa buku yang terkait.

E.           Sistematika Penulisan
1)      Bab I. Pendahuluan
2)      Bab II. Isi

A.    Kognisi


B.     Persepsi

C.     Hubungan antara Kognisi dan Intelegensi

3)      Bab III. Kesimpulan

Daftar Pustaka





BAB II
KOGNISI DAN PERSEPSI

A.    KOGNISI
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut.
Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).

v  Budaya dan Memori
Memori ialah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean, penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut. Dalam hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short term memory) yang jangka waktu menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik dan memori jangka panjang (long term memory) atau memori yang menyimpan informasi relatif permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya kembali (Dayakisni, 2008).
Ross dan Millson (Matsumoto dalam Dayakisni, 2008) melakukan sebuah penelitian dengan membandingkan daya ingat pelajar Amerika dan pelajar Ghania. Mereka menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam kemampuan daya ingatnya. Penelitian mereka ini ialah dengan membacakan cerita dengan suara yang keras dan membandingkan bahwa pelajar Ghania secara umum dapat mengingat isi cerita lebih baik daripada pelajar Amerika. Masih dalam Matsumoto (1996), Cole (1971) menemukan hal lain bahwa sekalipun masyarakat non-literate dapat mengingat isi cerita lebih baik namun kemampuan mereka dalam mengingat daftar kata cenderung lebih lama.
Serial Position Effect merupakan salah satu aspek memori yang paling dikenal karena pada hipotesa ini juga menerangkan bahwa seorang individu akan mampu mengingat lebih baik bagian pertama yang dibaca (primary effect) atau bacaan terakhir dari daftar kata yang harus diingat (recency effect). Meskipun demikian Wagner (dalam Matsumoto, 1996 dalam Dayakisni, 2008) menjelaskan bahwa primary effect ini juga berhubungan dengan pendidikan. Ia membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah dan yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya ialah primary effect cenderung lebih kuat pada anak yang pernah mengenyam pendidikan.

v  Budaya dan Problem Solving
Proses menyelesaikan masalah atau problem solving ini merupakan sebuah usaha yang digunakan untuk menemukan urutan yang benar dari alternatif-alternatif penyelesaian suatu masalah dengan mengarah pada satu tujuan pemecahan yang ideal. Penyelesaian masalah ini biasanya juga sangat tergantung dari pendidikan dan pengalaman-pengalaman yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali teori-teori psikologi yang telah mencoba menjelaskan mengenai problem solving ini, namun banyak juga yang akhirnya meneliti mengenai pengaruh budaya dengan problem solving terhadap masalah-masalah yang tidak biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Cole (dalam Dayakisni, 2008) memberi kesimpulan akhir pada penelitiannya bahwa orang Liberia menyelesaikan masalah mereka dengan berpikir logis akan menyesuaikan dengan konteks permasalahannya. Ketika masalah yang diberikan merupakan sebuah konsep dan mengunakan material yang sudah mereka kenal, maka orang Liberia akan mampu berpikir logis sama baiknya dengan orang Amerika. Ketika masalah yang akan dihadapinya tidak pernah ia temui sebelumnya, maka mereka cenderung mengalami kesulitan mengenai langkah-langkah awal dari penyelesaian masalah tersebut. Dalam perbandingan ini, namun tidak dapat dikatakan bahwa orang Liberia mempunyai problem solving yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Amerika, karena mungkin saja orang Amerika juga akan memiliki problem solving tidak sebaik orang Liberia ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Cole ini mendapat berbagai macam respon karena dinilai adanya bias-bias budaya dalam percobaannya sehingga ia perlu melakukan tiga kali percobaan untuk sampai pada kesimpulan yang telah disampaikan sebelumnya. Percobaan-percobaan yang dilakukan Cole antara lain :
·         Pada percobaan 1 ini ia menggunakan sebuah piranti yang memiliki banyak tombol, panel, dan lubang sehingga untuk dapat membuka piranti tersebut (dan mendapat hadiah yang ditaruh di dalamnya), ia harus mampu mengkombinasikan berbagai tombol dan merancang penyelesaian-penyelesaian lain untuk membuka piranti tersebut. Prosedur yang terdapat dalam penelitian ini iallah : (1) kemampuan menekan tombol yang tepat untuk dapat melepas kelerang; (2) memasukkan kelerang ke dalam lubang yang tepat agar panel dapat terbika dan selanjutnya piranti pun akan terbuka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Amerika yang berusia di bawah 10 tahun tidak mampu menyelesaikannya dengan mudah, namun pada orang dewasa Amerika, mereka dapat mengkombinasikan berbagai penyelesaian sehingga dapat menyelesaikannya dengan mudah. Hal ini tidak ditemukan pada subjek-subjek orang Liberia , baik pada usia muda maupun usia dewasa. Hal yang dirasa menjadi bias dalam penelitian ini ialah orang Amerika yang dianggap lebih familiar dengan penggunaan alat-alat yang menggunakan banyak tombol dibandingkan dengan orang Liberia. Oleh karena itu, Cole melakukan penelitian yang kedua.
·         Pada percobaan kedua ini, Cole menggunakan alat percobaan kotak terkunci beserta kunci-kuncinya. Hal ini dirasa kurang bias karena pertimbangan bahwa orang Liberia juga telah familiar terhadap hal-hal semacam ini. Prosedur dalam menyelesaikan masalah pun masih sama dengan percobaan pertama. Hasilnya menunjukkan bahwa orang Liberia mampu menyelesaikannya dengan baik dan menggunakan waktu yang hampir sama dengan orang Amerika.
·         Percobaan ketiga yang dilakukan ialah prosedur gabungan dari percobaan pertama dan percobaan kedua. Subjek diminta membuka kotak dengan kunci-kunci yang harus diambil dari piranti yang tertutup. Langkah yang harus dilakukan untuk membuka piranti tersebut ialah menekan tombol yang tepat, mengambil kelereng, dan memasukkan kelereng pada lubang yang tepat pula. Hasil pada percobaan ketiga ini sama dengan hasil pada percobaan pertama.

B.     PERSEPSI
Kalau berbicara tentang persepsi, kita biasanya menganggap bahwa kita bisa melihat hal-hal yang benar-benar faktual atau nyata di dunia sekitar kita. Menurut Matsumoto (2008), dalam psikologi tradisional, sensasi dan persepsi adalah tentang memahami bagaimana kita menerima stimulasi dari lingkungan dan bagaimana kita memproses stimulus tersebut. Persepsi biasanya dimengerti sebagai bagaimana informasi yang berasal dari organ yang tersetimulasi diproses, termasuk bagaimana informasi tersebut diseleksi, ditata, dan ditafsirkan. Persepsi mengacu pada proses di mana informasi inderawi diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna.

BEBERAPA KOMENTAR UMUM TENTANG PENGARUH BUDAYA PADA PERSEPSI
v  Persepsi dan Realitas
Salah satu hal yang harus disadari tentang persepsi adalah bahwa persepsi kita atas dunia belum tentu mewakili secara persis realitas fisik dunia atau indera kita. Poinnya di sini adalah bahwa persepsi kita tentang dunia yang “penuh” tidak selalu cocok dengan realitas fisik dan sensasi yang kita terima lewat sistem penglihatan kita. Contohnya adalah saat kita menutup satu mata kita, dan kita tetap bisa mengalami atau melihat dunia seolah-olah utuh. Meski ada satu area yang darinya mata kita tidak menerima cahaya, kita tidak bisa “melihat” bagian visual itu sebagai sesuatu yang hilang. Otak kitalah yang mengisinya sehingga seolah-olah seluruh wilayah visual kita bisa terlihat.
Selain itu, pengalaman sehari-hari kita dengan temperatur dan sentuhan juga menunjukkkan fenomena ini. Hal itu bisa terbukti pada eksperimen seperti berikut: Isilah tiga mangkuk dengan air ─ satu mangkuk dengan air panas, satu dengan air es, dan satu lagi dengan air hangat. Masukkan tangan kita ke dalam mangkuk berisi air panas untuk beberapa detik, dan kemudian pindahkan ke air hangat. Air itu akan terasa dingin. Tunggu beberapa menit; setelah itu masukkan tangan kita ke dalam air es, dan kemudian ke air hangat lagi. Air itu akan terasa hangat. Temperatur air yang hangat itu tidak berubah. Yang berubah adalah persepsi kita tentangnya.
Seperti yang terdapat pada Dayakisni (2008), kunci jawaban masalah di atas adalah pengalaman. Seperti yang diungkapkan para pengagum teori-teori empiris, manusia akan secara terus-menerus melakukan interpretasi terhadap tanda-tanda (dunia) dan dengan mudah tersesat oleh pengalaman terdahulu untuk melakukan phenomenal absolutism (bahwa manusia secara naif mengambil kesimpulan dari apa yang dirasakan dan bukan dari realitas sebenarnya). Dari proses-proses tersebut selanjutnya orang akan belajar bahwa dunia ini adalah dalam bentuk tiga dimensi. Segall (dalam Dayakisni, 2008) menjelaskan bahwa persepsi bukanlah stimulus penentu tetapi lebih merupakan produk dari interaksi antara stimulus dengan pengalaman.

v  Persepsi dan Pengalaman
Salah satu hal yang kita ketahui tentang persepsi kita adalah bahwa persepsi itu berubah. Persepsi kita juga berubah bila kita mengetahui lebih banyak tentang sesuatu. Contohnya, bagi kebanyakan orang, apa yang ada di bawah kap mobil merupakan pemandangan campur aduk yang tak rapi. Tapi bagi mereka yang mempelajari mesin, pemandangan itu akrab dan terdeferensiasi menjadi benda-benda yang lebih spesifik ─ karburator, blok mesin, alternator, dan lain-lain.
Selama beberapa tahun Chase dan Simon (Matsumoto, 2008) mempelajari orang-orang yang ahli dalam bidang tertentu. Mereka secara konsisten menemukan bahwa ketika orang belajar lebih banyak tentang sesuatu, mereka akan “melihatnya” secara berbeda dari saat pertama kali melihatnya. Jadi, jelas sekali bahwa bagaimana kita akan “melihat” sesuatu itu berubah seiring pengalaman kita dengan hal itu.
Bagaimana seseorang dari latar belakang budaya yang sangat berbeda “melihat” sesuatu yang amat familier bagi kita? Dan bagaimana kita akan “melihat” sesuatu yang familier bagi mereka dan asing bagi kita? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, seorang guru di Australia mempunyai pengalaman menarik yang menunjukkan perbedaan kultural dalam persepsi ini. Di sebuah sekolah untuk anak-anak suku Aborigin, guru ini sedang mencoba mengajarkan sebuah permainan “who touched me?”. Dalam permainan ini semua berdiri melingkar dan anak yang “jadi” akan ditutup matanya. Kemudian ada satu anak dari lingkaran yang akan berjalan diam-diam dan menyentuh anak yang tertutup matanya lalu kembali ke tempatnya. Tutup mata itu dibuka dan anak yang “jadi” harus menebak siapa yang menyentuhnya.
Guru itu melihat bahwa anak-anak Aborigin tidak benar-benar ingin bermain. Meski begitu, mereka tetap melakukan permainan itu untuk menghormati sang guru. Setelah permainan itu, sang guru menemukan bahwa murid-muridnya menjadi tidak kooperatif dan enggan mencoba apapun yang ia usulkan. Mereka menolak belajar alphabet. Guru itu pun mengira bahwa mereka sedang berpura-pura bodoh atau nakal.
Sama halnya ketika guru menganggap anak-anak Aborigin berpura-pura bodoh atau nakal, anak-anak suku Aborigin justru menganggap gurunyalah yang bodoh. Anak-anak Aborigin itu bisa dengan mudah melihat tapak kaki siapa yang ada di tanah dengan melihat sepintas. Jadi bagi mereka guru itu telah meminta mereka untuk memainkan sesuatu yang bagi anak-anak Aborigin sangat bodoh sampai mereka tak mengerti kenapa itu bisa menjadi sebuah permainan.


v  Persepsi Pengecapan
Kebanyakan orang pernah mengalami perubahan kesukaan makanan. Sebagian alasannya barangkali terkait dengan perubahan proporsi dari jenis-jenis saraf pengecapan di mulut (Matsumoto, 2008). Kita semua tahu bahwa anak-anak suka makanan yang manis dan bahwa mereka biasanya sangat pilih-pilih dengan makanan secara umum. Sifat ini mungkin sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa makanan yang sama punya rasa yang berbeda bagi anak-anak dan orang dewasa. Contohnya, sebatang coklat mungkin akan terasa terlalu manis bagi orang tua yang punya lebih saraf manis ketimbang saraf pahit dan asam. Bagi anak berusia 3 tahun, yang punya lebih banyak saraf pahit disbanding rata-rata orang dewasa, batang coklat yang sama mungkin akan terasa sedikit pahit.
Beberapa penelitian juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan mengecap yang diseabbkan oleh perbedaan budaya. Doty (Berry dalam Dayakisni, 2008) melaporkan kekurangmampuan orang-orang Kaukasia untuk mengecap subtansi yang mengandung PTC (phenilthiocarbamide). Ia juga menambahkan sekitar 30% orang Kaukasia dikatakan buta kecap atau lidah karena kebiasaan mengecap subtansi-subtansi yang lebih kasar ketimbang subtansi yang biasa dikecap orang-orang non-Kaukasia.

PENGARUH-PENGARUH BUDAYA PADA PERSEPSI VISUAL
v  Pengetahuan Tradisional tentang Ilusi Visual
Ada banyak kajian psikologi di bidang persepsi yang meneliti ilusi optik, yaitu persepsi yang mengandung diskrepansi atau perbedaan antara kenampakan sebuah benda dengan benda itu sesungguhnya. Seringkali, ilusi-ilusi optik terjadi karena asumsi-asumsi yang keliru tentang karakteristik stimulus dari benda yang dipersepsi.
Salah satu ilusi optik yang paling popular adalah ilusi Mueller-Lyer. Dalam ilusi ini ada dua garis yang masing-masing memiliki tanda panah di ujungnya. Tanda panah pada salah satu garis itu mengarah ke luar, menjauhi garisnya, sedangkan pada garis yang lain mengarah ke dalam. Penelitian menunjukkan bahwa subjek-subjek yang melihat dua gambar tersebut biasanya menilai bahwa garis dengan panah yang mengarah ke dalam adalah yang lebih panjang. Tapi hal ini hanya ilusi, karena kedua garis itu sebenarnya sama panjang.
scan0007.jpg





                  Ilusi Mueller-Lyer

Ilusi lain yang popular adalah ilusi horizontal/vertikal. Dalam ilusi ini dua garis dengan panjang yang sama ditempatkan secara saling tegak lurus. Ketika para subjek diminta menilai garis mana yang lebih panjang, biasanya mereka memilih garis yang vertikal.

scan0008.jpg





                 Ilusi Horizontal/Vertikal

Ilusi ketiga yang juga terkenal adalah ilusi Ponzo. Dalam ilusi ini dua garis horizontal ditempatkan sejajar, satu di atas yang lain. Setelah itu ditarik dua garis diagonal yang lebih rapat di ujung atas daripada di bawah. Ketika para subjek melihat gambar ini, mereka biasanya mengatakan bahwa garis horizontal yang ada di atas lebih panjang daripada garis horizontal di bawahnya. Tentu saja, kedua garis tersebut sebenarnya sama panjang.
scan0009.jpg






                 Ilusi Ponzo

v  Teori-teori Dominan tentang Ilusi Optik
Ada tiga teori utama yang dikembangkan untuk menjelaskan efek ilusi optik, yaitu:
1.      Carpentered World Theory atau Teori Lingkungan Buatan
Teori ini menyatakan bahwa orang, seperti hanlnya sebagian besar orang Amerika, terbiasa melihat benda-benda yang berbentuk kotak. Tinggal di lingkungan yang didominasi bentuk kotak, secara tak sadar kita cenderung menduga akan bertemu dengan benda-benda dengan sudut atau pojok berbentuk kotak. Kita sudah melakukan ini begitu lama sehingga kita tak lagi sadar bahwa kita menafsirkan berbagai benda seolah-olah berbentuk persegi padahal stimulus aktualnya tidak tegak lurus dengan mata kita. Kita hanya melihatnya seolah-olah bentuknya “persegi”.
2.      Front-Horizontal Foreshortening Theory atau Teori Pemendekan Horizontal-Depan
Teori ini menyatakan bahwa kita menafsirkan garis vertikal di mata kita sebagai garis horizontal yang terentang sampai kejauhan. Dengan demikian, kita akan menafsirkan garis vertikal pada ilusi vertikal/horizontal sebagai sebuah garis yang terentang menjauhi kita. Sekali lagi, kita akan menduga bahwa sebuah garis akan punya ukuran lebih panjang bila berada jauh dari kita. Karena itu, kita melihat garis vertikal tersebut lebih panjang daripada yang horizontal, yang tidak terlihat terentang menjauh.
3.      Symbolizing-Three-Dimensions-in-Two-Dimensions atau Teori Menyimbolkan-Tiga-Dimensi-dalam-Dua-Dimensi

PENELITIAN LINTAS-BUDAYA TENTANG ILUSI VISUAL
Beberapa penelitian lintas-budaya tentang persepsi visual menantang pemahaman-pemahaman tradisional tentang ilusi optik. Bahkan sudah semenjak 1905, W.H.R. Rivers membandingkan efek ilusi Muller-Lyer dan horizontal/vertikal pada kelompok dari Inggris, pedesaan India, dan Papua Nugini. Ia menemukan bahwa orang Inggris melihat dua garis pada ilusi Muller-Lyer lebih berbeda panjangnya daripada orang-orang dari kelompok-kelompok lainnya. Ia juga menemukan bahwa orang India dan Papua Nugini lebih tertipu oleh ilusi horizontal/vertikal daripada orang Inggris.
Hasil-hasil ini cukup mengejutkan. Sebelumnya, mereka yakin bahwa orang India dan Papua Nugini lebih primitif dan akan lebih tertipu oleh ilusi-ilusi tersebut daripada orang Inggris yang lebih berpendidikan dan lebih “beradab”. Tapi hasilnya menunjukkan bahwa ada efek ilusi tersebut berbeda antarbudaya, dan bahwa ada sesuatu selain pendidikan yang turut memengaruhi bagaimana orang tertipu oelh ilusi-ilusi itu. Para peneliti itu kemudian menyimpulkan bahwa pasti ada pengaruh budaya pada bagaimana kita “melihat” dunia.
Hasil-hasil yang didapatkan Rivers tadi dapat dijelaskan dengan Teori Lingkungan Buatan maupun Teori Pemendekan Horizontal-Depan. Pada Teori Lingkungan Buatan, akan dinyatakan bahwa sebagian besar orang Amerika dan Inggris, dalam penelitian Rivers, sudah terbiasa melihat benda-benda yang berbentuk persegi. Sebaliknya, orang-orang di India dan Papua Nugini lebih terbiasa dengan lingkungan yang lebih bundar dan ileguler. Terhadap ilusi Muller-Lyer, orang Inggris akan cenderung melihatnya sebagai sudut-sudut persegi yang memproyeksikan kedalaman ke arah menjauhi atau mendekati kita. Namun orang India dan Papua Nugini tinggal di budaya di mana lingkungannya tidak terlalu banyak memuat benda-benda buatan manusia. Kecenderungan mereka untuk membuat “kesalahan” perseptual dalam hal ini lebih kecil daripada orang Inggris. Karena itulah orang Inggris lebih sering salah dalam menafsirkan ilusi Muller-Lyer daripada orang India dan Papua Nugini. Pada Teori Pemendekan Horizontal-Depan dapat membedakan perbedaan cultural dalam penelitian Rivers. Di India dan Papua Nugini terdapat lebih sedikit gedung yang menghalangi jarak pandang orang. Karena itu, orang India dan Papua Nugini lebih mengandalkan petunjuk kedalaman daripada orang Inggris dan membuat lebih banyak kesalahan dalam menilai gambar horizontal/vertikal. Sedangkan Teori Menyimbolkan-Tiga-Dimensi-dalam-Dua-Dimensi menyatakan bahwa di budaya-budaya Barat, orang lebih banyak memperhatikan hal-hal yang tertera di atas kertas daripada orang dari budaya lain. Secara lebih khusus, orang Barat menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar menafsirkan gambar daripada orang dari budaya non-Barat. Karena itu orang-orang di Papua Nugini dan India lebih sulit tertipu ilusi Muller-Lyer karena gambar tersebut lebih “asing” bagi mereka. Tapi mereka akan lebih tertipu oleh ilusi horizontal/vertikal karena hal itu lebih mewakili cara hidup mereka.
Untuk melihat apakah temuan-temuan Rivers juga berlaku pada lebih banyak budaya secara umum, Segall dkk (Matsumoto, 2008) membandingkan orang dari tiga kelompok masyarakat industri dengan empat-belas kelompok masyarakat non-industri pada ilusi Muller-Lyer dan horizontal/vertikal. Hasilnya menunjukkan bahwa efek ilusi Muller-Lyer lebih kuat pada kelompok-kelompok industri. Sebaliknya, efek ilusi horizontal/vertikal lebih kuat pada kelompok non-industri. Mereka menemukan bahwa efek ilusi-ilusi tersebut menurun dan hamper menghilang seiring pertambahan usia. Wagner (1977) mengkaji persoalan ini dengan menggunakan beberapa versi ilusi Ponzo dan membandingkan jawaban orang-orang dari lingkungan desa dan kota, yang sebagian melanjutkan pendidikan dan sebagian tidak. Wagner menemukan bahwa ada pengaruh lingkungan perkotaan dan pengalaman sekolah pada ilusi Muller-Lyer. Pollack dan Silvar (1967) menunjukkan bahwa efek ilusi Muller-Lyer terkait dengan kemampuan untuk mendeteksi kontur, dan kemampuan ini akan menurun seiring pertambahan umur. Untuk melihat teori mana ─teori rasial ataukah teori pembelajaran lingkungan─ yang lebih benar, Stewart (1973) menguji efek ilusi Muller-Lyer pada anak-anak kulit hitam dan putih yang tinggal di satu kota yang sama. Ia tak menemukan perbedaan antara kedua kelompok ini. Kemudian ia membandingkan beberapa kelompok anak usia sekolah dasar di Zambia yang berasal dari lingkungan kota yang penuh dengan benda arsitektur serta yang berasal dari lingkungan pedesaan yang minim benda arsitektur. Ia menemukan bahwa efek ilusi ini tergantung pada sejauh mana seorang anak tinggal di lingkungan berarsitektur. Ia juga menemukan bahwa seiring pertambahan usia, efek ilusi ini berkurang, yang menunjukkan bahwa baik hasil belajar maupun sifat bawaan punya peran dalam perbedaan cultural yang tampak ini.
Hudson (1960) mencoba mengembangkan sebuah tes proyektif mirip Thematic Apperception Test untuk digunakan pada suku Bantu di Afrika Selatan.
scan0006.jpg






Ia meminta seorang seniman untuk membuat gambar-gambar yang menurut dugaan para ahli psikologi akan membuat anggota suku itu memikirkan emosi-emosi mereka yang mendalam. Para ahli psikologi ini terkejut karena menjumpai bahwa anggota suku Bantu seringkali melihat gambar-gambar tersebut dengan cara berbeda dari yang dimaksudkan. Anggota-anggota suku itu seringkali tidak menggunakan ukuran relatif sebagai petunjuk kedalaman. Dalam ilustrasi yang ada, misalnya, kita akan cenderung melihat bahwa si pemburu bersiap melempar tombaknya pada kijang yang ada di latar depan, sementara ada seekor gajah yang berdiri di atas sebuah bukit sebagai latar belakang. Banyak anggota suku Bantu justru melihat bahwa si pemburu di gambar yang sama sedang bersiap menusuk gajak yang masih bayi.
Hudson menemukan bahwa perbedaan-perbedaan dalam persepsi kedalaman ini terkait dengan pendidikan dan pengalaman dengan budaya Eropa. Dengan kata lain, orang-orang suku Bantu yang terdidik di sekolah-sekolah Eropa, atau punya pengalaman lebih banyak dengan budaya Eropa, akan melihat benda-benda seperti halnya orang Eropa. Orang-orang suku Bantu yang tak berpendidikan dan minim pengalaman dengan budaya Barat akan melihat gambar-gambar itu secara berbeda.



C.    PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN INTELEGENSI
Intelegensi dalam pandangan orang Amerika ialah sejumlah kemampuan, keahlian, talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya merujuk pada kemampuan kognitif dan proses mental. Ruang lingkup dalam proses intelegensi ini ialah memori, kekayaan kosa kata, kemampuan komperehensif, kemampuan matematis, dan berpikir logis. Cara budaya mainstream Amerika mendefinisikan inteligensi mempengaruhi pandangan banyak orang mengenai proses perkembangan kognitif bahwa orang yang berasal dari budaya tertentu lebih cerdas dibanding yang lain. Padahal perbedaan budaya juga sangat berperan dalam menentukan definisi dari intelegensi/kecerdasan ini. Sebagai contoh, seorang yang berada dalam budaya tertentu yang ada di pedalaman, kecerdasan yang harus dimiliki mungkin bukanlah sebuah kecerdasan matematis dalam berhitung, namun kecerdasan dan ketepatan dalam menangkap hewan buruan ataupun menyalakan api dengan kayu bakar. Satu jenis alat tes yang digunakan mungkin menunjukkan hasil yang berbeda pada setiap budaya dikarenakan adanya kemungkinan alat tes yang bias budaya. Oleh karena itu, adanya perbedaan dalam skor intelegensi diantara kelompok-kelompok budaya barangkali merupakan akibat atau hasil dari (1) perbedaan keyakinan tentang apa yang disebut dengan intelegensi; (2) ketidaktepatan pengukuran intelegensi terkait budaya.
Para ahli psikologi telah banyak mempelajari bagaimana anak-anak belajar berpikir dan bagaimana mendefinisikan dan mengukur kecerdasan. Skor IQ dapat menjadi faktor penentu yang  penting bagi hidup seseorang, hasil tes tersebut harus ditafsirkan dengan amat hati-hati, terutama bila ingin mengkur inteligensi lintas-budaya. Beberapa ahli berpendapat mengenai perlunya memahami inteligensi secara lebih luas untuk mengintegrasikan penelitian lintas-budaya ke dalam teori yang dapat menjelaskan mengapa orang dari berbagai belahan bumi berpikir dan mengembangkan keterampilan mental secara berbeda.
Misalnya persepsi bahwa orang Cina itu lebih pintar dibandingkan orang Indonesia (Pribumi). Sebenarnya hal itu hanyalah persepsi kita saja karena sudah terbentuk di lingkungan sekitar kita dan didukung dengan bukti empiris bahwa negeri Cina lebih maju.

v  Teori Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah bidang khusus dalam psikologi yang mempelajari bagaimana perkembangan keterampilan berpikir. Berdasarkan pengamatan Piaget di Swiss, ia menemukan bahwa ternyata anak-anak dari usia yang berbeda-beda cenderung memecahkan masalah secara berbeda. Anak-anak berkembang maju melalui 4 tahap seiring pertumbuhan mereka menurut Piaget, yaitu:
1.      Tahap sensorimotor
Dimulai sejak lahir sampai 2 tahun. Proses permanensi objek-kemampuan untuk mengetahui bahwa suatu benda itu tetap ada meski tidak terlihat oleh pandangan mata. Misalnya  di Indonesia berkembang mitos bahwa anak kecil memiliki penglihatan yang sensitif sehingga dapat melihat makhluk-makhluk gaib atau yang dikatakan “penampakan”. Hal itu akan membentuk konsep diri terhadap anak  yang didukung oleh lingkungan yang kuat untuk memberikan si anak pemahaman antara konsep magis dan rasionalitas.
2.      Tahap pra operasional
Usia 2-7 tahun. Di bagi berdasarkan 5 sifat yaitu,
·         Konservasi: kesadaran bahwa adanya kuantitas fisik yang tidak berubah meski bentuk atau penampakannya berubah.
·         Keterpakuan: kecenderungan untuk terfokus pada satu aspek dari suatu persoalan/masalah.
·         Ketidakberhasilan: ketidakmampuan untuk membayangkan “penguraian-balik”.
·         Egosentrisme: keidakmampuan untuk menggunakan kacamata orang lain dan memahami sudut pandangnya.
·         Animisme: keyakinan bahwa benda-benda mati punya nyawa.
3.      Tahap operasional konkret
Usia 6-11 tahun. Anak memperoleh keterampilan berpikir baru dalam menghadapi benda dan kejadian nyata. Mereka bisa membalikkan dalam pikiran-bayangan proses suatu tindakan dan memperhatikan lebih dari satu aspek dari suatu persoalan, mengerti ada sudut pandang berbeda dari pandangan mereka. Dalam memecahkan masalah masih trial-error.
4.      Tahap operasional formal
Pada usia 11 tahun sampai dewasa. Mengembangkan kemampuan berpikir logis mengenai konsep abstrak, sistematis dalam problem solving.

v  Teori Tahapan Piaget dari Perspektif Lintas Budaya
Teori Piaget ini berlangsung seperti empat tahapan tersebut di setiap budaya. Dari beberapa penelitian pada anak-anak Inggris, Amerika, Yunani, dan Pakistan menunjukkan dapat mengerjakan tugas perkembangan Piaget pada tahap yang sama yaitu, tahap operasional konkret (Shayer, Dementriou & Perez, 1988).
Penelitian lain menunjukkan adanya variasi kultural pada usia anak di masyarakat yang berbeda-beda dalam pencapaian tahap perkembangan Piaget yang ketiga dan keempat (tahap operasional konkret dan tahap operasional formal) sehingga menyebabkan tahap perkembangan yang berbeda dengan tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Piaget. (Dasen, Lavallee, Ngini, dan Retschitzki, 1979; Dasen, 1982).
Dalam sebuah penelitian, terdapat variasi yang cukup besar antara tahapan-tahapan perkembangan Piaget dan ketrampilan fisik yang terkait. Jadi anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam suatu budaya dan usia tertentu secara tidak langsung dituntut untuk mempelajari keterampilan-ketrampilan khusus yang sesuai dengan aturan budayanya tanpa dipengaruhi oleh tahapan perkembangan Piaget.
Misalnya pada anak-anak zaman dulu yang masih tinggal nomaden atau anak yang tinggal di perkampungan memiliki keterampilan tertentu misalnya berburu. Dalam hal berburu juga diperlukan perhitungan dan strategi yang pas untuk menangkap hewan berburu. Belum tentu pola pikir seperti itu dimiliki oleh anak-anak dan orang dewasa yang tinggal menetap di perkotaan.
Teori Piaget berasumsi bahwa penalaran ilmiah yang diasosiaikan dengan tahap operasional formal merupakan puncak perkembangan kognitif, dengan kata lain pemikiran ini menjadi acuan bagi setiap budaya dalam menentukan langkah-langkah penalaran ilmiah. Penelitian lintas budaya mematahkan teori tersebut dengan menyatakan bahwa masyarakat yang berbeda budaya menghargai dan mendorong keterampilan dan perilaku yang berbeda-beda. Misalnya, cerdik-cendikiawan yang paling dihormati oleh masyarakat islam tradisional adalah pemuka agama dan penyair. Meskipun pendidikan islam tradisional  sudah cukup mencakup pelajaran budaya barat (yang bersifat ilmiah seperti Matematika, Fisika, Kimia), tujuan utamanya ialah mengajarkan pengetahuan umum, iman, dan penghargaan yang mendalam atas puisi dan sastra. Beberapa budaya di dunia tidak sepakat bahwa proses berpikir abstrak merupakan titik perkembangan kognitif yang paling tinggi. Banyak pula budaya yang menganggap bahwa perkembangan kognitif mencakup hubungan antara ketrampilan dan proses berpikir untuk berhasil dalam konteks interpersonal (well adjusted dalam lingkungannya).
Apakah ini berarti bahwa suatu budaya dapat digolongkan terhambat di tahap perkembangan kognitif yang rendah? Jadi tugas-tugas Piagetian memang merupakan cara yang tepat untuk mengukur tahap tertinggi dalam perkembangan kognitif. Sayangnya tes-tes tersebut tidak selalu bisa dipahami dan diberikan pada budaya-budaya tertentu. Tes operasional formal, tidak bisa menunjukkan apakah orang dari budaya yang berbeda memiliki keterampilan kognitif di bidang lain selain yang dipilih oleh Piaget. Dari pernyataan tersebut timbul pertanyaan tentang sejauh mana tugas-tugas Piagetian lebih tergantung pada pengetahuan sebelumnya dan nilai-nilai budaya ketimbang keterampilan kognitif. Misalnya pada salah satu tes inteligensi hasil adaptasi dari luar Indonesia terdapat kosa kata-kosa kata tertentu yang belum tentu dimengerti oleh orang Indonesia pada tahap perkembangan tertentu.
Pada akhirnya perbedaan dalam satu atau beberapa budaya menyulitkan pengambilan kesimpulan yang valid tentang perbedaan perkembangan kognitif antar budaya terbatas pada aktivitas-aktivitas khusus. Misalnya individu yang bisa menerapkan logika ilmiah pada suatu masalah pekerjaan mungkin akan menggunakan penalaran yang berbeda untuk situasi yang lain.



v  Pengaruh Kultural pada Pengukuran Intelegensi
Tes inteligensi menjadi cara untuk membedakan anak-anak yang membutuhkan pendidikan luar biasa dengan anak-anak yang terhambat karena alasan lain. Tidak semua pihak diuntungkan oleh tes inteligensi ini karena tes-tes ini bergantung pada kemampuan verbal dan pengetahuan kultural. Beberapa orang merespon bahwa tes inteligensi itu bias dan tidak mengukur dengan akurat kemampuan orang dari budaya lain.
Dalam sebuah kontroversi dikenal perdebatan “nature vs culture”. Kubu nature berpendapat bahwa dalam skor IQ pada masyarakat dan kelompok-kelompok etnis yang berbeda disebabkan oleh faktor alam atau keturunan. Perbedaan skor inteligensi antar kelompok juga mungkin diakibatkan oleh:
1)      Perbedaan definisi inteligensi
2)      Ukuran inteligensi yang secara kultural kurang tepat.
Seperti yang kita ketahui bahwa tes-tes inteligensi merupakan prediktor yang baik dalam hal keterampilan verbal yang diperlukan untuk bisa berhasil dalam  budaya yang terkait dengan sistem-sistem pendidikan formal di masyarakat modern, model yang sekarang semakin banyak diadopsi di seluruh dunia. Pandangan lain yang dipegang oleh ahli psikologi lintas-budaya bahwa tes-tes inteligensi memang mengukur perbedaan yang nyata antara masyarakat yang berbeda, tapi perbedaan tersebut seharusnya tidak dipandang sebagai kekurangan/kelemahan suatu budaya.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kita tidak bisa sepenuhnya percaya pada apa yang kita lihat karena penglihatan berbeda dari dunia faktual dalam pengertian absolutnya. Apa yang kita lihat mungkin berbeda dari apa yang dilihat dan diyakini orang lain. Hal inilah yang dinamakan dengan persepsi. Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor ─termasuk usia, pematangan, lingkungan dan situasi­─ latar belakang kebudayaan tetap merupakan penentu yang berpengaruh dalam persepsi kita terhadap dunia (persepsi dapat dibentuk, diubah, dan dipengaruhi oleh kebudayaan di mana kita dibesarkan).
 Kategorisasi yang merupakan bagian dari proses kognisi ternyata tak berbeda anta budaya bila terkait dengan pengalaman seperti warna, ekspresi wajah, dan bentuk-bentuk geomeetris. Hal ini berarti, proses-proses dasar ini akan sama pada semua orang namun kategori dapat pula menjadi berbeda ketika individu memiliki latar belakang pengalaman kultural yang berbeda. Ketika ada perbedaan kultural yang muncul bukanlah dalam kemampuan kognitif melainkan perbedaan dalam preferensi (pilihan) untuk menggunakan gaya-gaya kognitif tertentu.
Hubungan inteligensi sebagai bagian dari proses kognisi memiliki banyak definisi yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Bagaimana sutau budaya mendefinisikan apa yang disebut cerdas barangkali tidak sama dengan bagaimana budaya lain mendefinisikan inteligensi. Oleh karena itu, pengukuran inteligensi seharusnya disesuaikan dengan kemungkinan terjadinya bias budaya.